Raja Ampat, sebuah permata keanekaragaman hayati laut, belakangan menjadi sorotan terkait izin tambang. Meskipun empat izin tambang nikel lainnya di Raja Ampat telah dicabut oleh pemerintah, status PT Gag Nikel masih menjadi pertanyaan besar bagi banyak pihak. Ada berbagai alasan yang mendasari keputusan pemerintah untuk tidak mencabut izin perusahaan ini, yang membedakannya dari kasus tambang lain.
Salah satu alasan utama mengapa izin PT Gag Nikel tidak dicabut adalah status hukum Kontrak Karya (KK) yang mereka miliki. Izin PT Gag Nikel ini diterbitkan sejak era Orde Baru, bahkan eksplorasi awalnya sudah dimulai pada tahun 1972 dan produksi pada 2018. Hal ini berbeda dengan empat izin tambang lain yang sebagian besar merupakan IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang diterbitkan lebih baru oleh pemerintah daerah.
Selain itu, lokasi tambang PT. Gag Nikel di Pulau Gag diklaim berada di luar kawasan geopark Raja Ampat, yang menjadi alasan pencabutan izin empat perusahaan lainnya. Menteri ESDM menyatakan bahwa Pulau Gag berjarak sekitar 30-40 km dari wilayah konservasi seperti Piaynemo. Klaim ini menjadi argumen penting dalam mempertahankan operasional perusahaan tambang nikel tersebut.
PT. Gag Nikel juga menjadi satu-satunya perusahaan dari lima IUP/KK yang beroperasi di Raja Ampat yang memiliki Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) untuk tahun 2025. Menurut pemerintah, hal ini menunjukkan komitmen dan kepatuhan PT. Gag Nikel terhadap regulasi yang berlaku, berbeda dengan perusahaan lain yang tidak memiliki RKAB yang diperbarui untuk tahun ini.
Pemerintah juga mengklaim bahwa pengelolaan lingkungan oleh PT. Gag Nikel sudah memenuhi standar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang baik. Bahkan, pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebelumnya juga menyatakan bahwa PT. Gag Nikel boleh menambang di Raja Ampat karena dianggap menjaga perlindungan lingkungan. Ada pula klaim reklamasi lahan yang telah dilakukan oleh perusahaan.
Meskipun demikian, keputusan ini tetap memicu perdebatan. Beberapa pihak, seperti Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Greenpeace, tetap menuntut pencabutan seluruh izin tambang di Raja Ampat, termasuk PT Gag Nikel, mengingat status Raja Ampat sebagai kawasan konservasi prioritas nasional dan internasional. Pengawasan ketat dan transparansi menjadi kunci untuk memastikan aktivitas tambang tidak merusak surga bahari ini.